Senin, 31 Mei 2010

Ramuan Ajaib

Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.

Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.

Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.

“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.

Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.

“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”

“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.

“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.

Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.

“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.


Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.

Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.

“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.

“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”

“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”

“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.

“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.

Selembar Uang 5000

Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”

Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.

“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.

“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.

“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.

“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”


Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.

“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.

“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.

Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.

“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.

“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

Balada Sebuah Tugas Statistik

Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”

“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”



Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.

Ada yang Menangis Sepanjang Hari…

Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.

Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.

”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!”

”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah keterlaluan!”

”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.

”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.”

Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu?

Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris malam.

Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu?

”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.

”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”

”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.

”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”

”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”

”Jadi kebawa pingin nangis…”

”Itu namanya mengganggu ketertiban!”

”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!”

Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung.

”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”



Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari…

Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus- terusan menangis seperti itu.

”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…”

”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”

”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…”

”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”

”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”

”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”

”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”

Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.

Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar.

Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.

Menteri yang lain hanya diam.



Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar.

Mendadak istrinya sudah di sampingnya.

”Ada apa?”

”Saya seperti mendengar suara tangis…”

”Siapa?”

”Entahlah…”

”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”

Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.



Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.

Apakah kau dengar tangisan itu?

Mata Sayu Itu Bercerita

Mata sayu itu banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi berbincang-bincang bak kawan lama.

Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu.

Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.

Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang.

Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.

Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.

***

Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.

Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang.

Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu.

Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?

Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.

Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.

Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.

Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.

Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.

Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.

Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi.

Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.

***

Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku.

Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.

Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi.

Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu.

Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah itu. Walau usia sudah mengelupas kulit batangnya, namun dia tetaplah yang paling menjulang di antara pepohonan yang ada di sekeliling.

Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang lalu.

Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong. Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya. Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran.

Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya anak sendiri. Teman malah.

Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik. Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan belakang.

Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas.

Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan penuh minat.

Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka sendiri.

”Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan yang paling membahagiakan. Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya sudah di depan mata. Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya…!” begitu kata seseorang di buku harian itu.

”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik, bukannya seperti menyuapkan simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?!” tulis yang lain menumpahkan kedongkolan.

Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: ”Sumpah, swear! Kesemarakan hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih, gue kepingin mati di sini aja.” Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa sih, he-he.”

Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang terlalu berterus terang dan tajam di situ. ”Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar. Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang beriman? Kandang kuda tak sepesing ini.”

Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik ketenangan mereka.

”Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit!” Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan di buku harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan.

Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini… Aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini.”

Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti.

Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan terima kasih dan peluk cium.

”Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada lembar-lembar halamannya kepada siapa kita telah belajar tentang keberanian dan memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian ini,” katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata.

Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran.”

Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu diputuskan supaya ditanam. ”Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu membuat upacara di bawah pohon itu terdiam oleh haru.

Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian pertama, diikuti semua muridnya, satu-demi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan belakang sekolah itu.

Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah.

Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk itu adalah besi kempa berukir.

Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid- muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan.

Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal.

Macam-macam Tarian Indonesia

1. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.


Tari Kancet Ledo

2. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
3. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
4.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tari Hudoq

5. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
6. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
7. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Tari Belian Bawo


8. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
9. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
10. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
11. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
12. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
13. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.






Seni tari suku Kutai dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni Seni Tari Rakyat dan Seni Tari Klasik.
Seni Tari Rakyat
Merupakan kreasi artistik yang timbul ditengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
Yang termasuk dalam Seni Tari Rakyat adalah:
1. Tari Jepen
Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung (semacam kendang kecil).
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Seni Tari Klasik
Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau.
Yang termasuk dalam Seni Tari Klasik Kutai adalah:
1. Tari Persembahan
Dahulu tarian ini adalah tarian wanita kraton Kutai Kartanegara, namun akhirnya tarian ini boleh ditarikan siapa saja. Tarian yang diiringi musik gamelan ini khusus dipersembahkan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung ke Kutai dalam suatu upacara resmi. Penari tidak terbatas jumlahnya, makin banyak penarinya dianggap bagus.
Tari Ganjur


2. Tari Ganjur
Tari Ganjur merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakan alat yang bernama Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan memiliki tangkai untuk memegang). Tarian ini diiringi oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).
3. Tari Kanjar
Tarian ini tidak jauh berbeda dengan Tari Ganjur, hanya saja tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita dan gerakannya sedikit lebih lincah. Komposisi tariannya agak lebih bebas dan tidak terlalu ketat dengan suatu pola, sehingga tarian ini dapat disamakan seperti tari pergaulan. Tari Kanjar dalam penyajiannya biasanya didahului oleh Tari Persembahan, karena tarian ini juga untuk menghormati tamu dan termasuk sebagai tari pergaulan.
4. Tari Topeng Kutai
Tari ini asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan Singosari dan Kediri. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya.
Tari Topeng Kutai terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:
01. Penembe
02. Kemindhu
03. Patih
04. Temenggung
05. Kelana
06. Wirun
07. Gunung Sari
08. Panji
09. Rangga
10. Togoq
11. Bota
12. Tembam
Tari Dewa Memanah

Tari Topeng Kutai hanya disajikan untuk kalangan kraton saja, sebagai hiburan keluarga dengan penari-penari tertentu. Tarian ini juga biasanya dipersembahkan pada acara penobatan raja, perkawinan, kelahiran dan penyambutan tamu kraton.
5. Tari Dewa Memanah
Tarian ini dilakukan oleh kepala Ponggawa dengan mempergunakan sebuah busur dan anak panah yang berujung lima. Ponggawa mengelilingi tempat upacara diadakan sambil mengayunkan panah dan busurnya keatas dan kebawah, disertai pula dengan bememang (membaca mantra) yang isinya meminta pada dewa agar dewa-dewa mengusir roh-roh jahat, dan meminta ketentraman, kesuburan, kesejahteraan untuk rakyat.

Tari Gantar

Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
Tari Perang

CARA KERJA TRANSMISI DATA

Akses internet yang digunakan oleh warnet menggunakan salah satu provider jaringan internet dengan menara. Alat yang digunakan untuk mendapatkan akses internet yaitu dengan menggunakan Menara pemancar gelombang. Menara telah diarahkan kepada provider pengirim. Sinyal dari menara akan diterima oleh alat broadband. Broadband tersambung ke komputer server dan suatu alat yang dinamakan mikrotik. Alat ini berguna untuk melakukan share quota akses data secara efektif. Setelah itu komputer server terhubung ke hub dan selanjutnya terhubung ke computer client. Setelah tersambung makan dilakukan setting ip address dan subnet di tiap masing-masing workstation. Dalam hal ini proses setting dilakukan oleh pihak vendor provider internet.

Selasa, 25 Mei 2010

Tari pendet

Penari pendet memegang bokor tempat bunga yang akan ditaburkan.
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali,
pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah
Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Senin, 24 Mei 2010

Tradisi Kemeriahan Pernikahan Adat Betawi

Masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang sebagaimana terbentuknya kota Jakarta sebagai tempat domisili asalnya. Sebagai sebuah kota dagang yang ramai, Sunda Kelapa, nama Jakarta tempo dulu, disinggahi oleh berbagai suku bangsa.

Penggalan budaya Arab, India, Cina, Sunda, Jawa, Eropa, Melayu dan sebagainya seakan berbaur menjadi bagian dari karakteristik kebudayaan Betawi yang kita kenal kini. Singkat kata, tradisi budaya Betawi laksana ‘campursari’ dari beragam budaya dan elemen etnik masa silam yang secara utuh menjadi budaya Betawi kini.

Suku Betawi sangat mencintai kesenian, salah satu ciri khas kesenian mereka yaitu Tanjidor yang dilatar belakangi dari budaya belanda, selain itu betawi memiliki kesenian keroncong tugu yang dilatar belakangi dari budaya Portugis-Arab, kesenian gambang kromong yang dilatar belakangi dari budaya cina. Selain kesenian yang selalu ditampilkan dengan penuh kemeriahan, tata cara pernikahan budaya betawi juga sangat meriah.

Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”. Dilanjutkan lamaran, pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian dilanjutkan dengan malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.

Tradisi Meriah

Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan, rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.

Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.

Prosesi Akad Nikah

Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :

1. Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.
2. Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.
3. Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.
4. Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.
5. Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.
6. Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun, buncis dan sebagainya.

Acara berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah. Yang kemudian dilanjutkan dengan penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.

Pernikahan

Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan pesta pernikahan.

Mengapa Perlu Melakukan Analisis Tegangan Pipa?

Ada sejumlah alasan untuk melakukan analisis tegangan pada sistem pemipaan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

- Untuk menjaga tegangan-tegangan di dalam pipa dan fitting agar berada pada level-level code yang diizinkan.
- Untuk menjaga beban-beban nozzle pada peralatan yang terpasang agar berada di dalam standar-standar umum (NEMA SM23, API610, API627, dll).
- Untuk menjaga tegangan-tegangan vesel pada koneksi pemipaan agar berada di dalam level-level ASME Section VII yang diizinkan.
- Untuk menghitung beban-beban disain dengan ukuran yang sesuai
- Untuk menentukan penyimpangan-penyimpangan pemipaan untuk pemeriksaan gangguan.
- Untuk memecahkan masalah-masalah dinamika pada pemipaan, seperti yang berkaitan dengan getaran mekanis, getaran akustik, fluid hammer, pemulsaan, aliran transient, dan relief valve discharge.
- Untuk membantu mengoptimasikan disain pemipaan.